Short Stories : When the Sun goes down
new-hope-by-arkadiusz-ziomek-on-500pxcom
Riuh suara ombak mulai terdengar nyaring. Hal yang biasa bagi Daniza kini, di halamannya ia terduduk manis tersapu angin yang mengenai kulit halusnya. Tidak adakah hal luar biasa yang datang menjumpainya, seperti sosok yang sudah lama ia tunggu datang sambil dengan riang ia merentangkan kedua tangannya. Ah, paling tidak singgah saja, ya itu cukup. meskipun sebenarnya tidak.
Jari-jari kakinya yang mungil perlahan tertutupi sekumpulan air bercampur pasir putih halus. Rok putih panjang yang Daniza kenakan sudah basah setengah lutut. Namun, ia masih betah berlama-lama disana bertemankan senja yang tak pernah bosan dilihat oleh penikmatnya.
Langit mulai sedikit gelap, warna merah sedikit jingga yang menutupi birunya langit mulai pudar digantikan dengan tajamnya biru tua keunguan. Dan ketika itu, terdengarlah kumandang adzan di masjid terdekat. Tanda bahwa Daniza harus masuk ke dalam rumah dan bersiap-siap melaksanakan ibadah. Ia akhirnya beranjak dan memberitahu orang-orang sekitar yang sedang berkunjung untuk melanjutkan kunjungannya selepas maghrib saja.
Malam hari yang selalu dingin membuat Daniza enggan untuk keluar lagi. kamarnya kini menjadi tempat yang nyaman untuk memikirkan segala hal. Mulai tentang dirinya yang sudah sebulan pergi meninggalkan kota tempatnya tinggal hingga berfikir kapan ia mulai menerima semuanya. Semua yang sudah terjadi belakangan ini.
Tidak butuh waktu lama malam yang semakin larut membuatnya terlelap dengan kepala bersandar pada kedua lengannya yang menyilang di atas meja. Angin yang semakin kencang masuk ke kamarnya melalui celah jendela tepat di hadapannya kini.
Namun, Brakk
Kedua pintu jendela beradu kencang hingga tertutup sudah ruang bagi angin kencang tadi masuk. Kelopak matanya sedikit terbuka memperlihatkan ruangan gelap samar-samar dan sesuatu rasanya menimpah punggungnya yang membungkuk karena posisi tidurnya kini. Jari Daniza tergerak untuk memastikan apa yang membalut tubuhnya itu tanpa membuka kelopak matanya lebih lebar lagi karna rasa kantuknya yang masih mengambil kendali atas Daniza. "Ha...nya sel-li-mut rupanya huff" Daniza merasa kesadarannya mulai hilang dan tenggelam dalam bunga tidurnya.
"Za, Daniza. Apa matahari tidak cukup membangunkanmu?"
Suara itu. Bukankah terlalu asing untuk di dengar.
"Za, Kamu tidak suka kopi kan? ini saya buatkan supaya kamu suka."
Ia pikir, kepalanya mungkin terbentur sesuatu sehingga mendengar suara yang tidak-tidak. Ini sudah gila.
Entah mengapa sinar matahari tiba-tiba terasa sangat menusuk. Daniza rasanya tidak kuat jika harus berlama-lama terpejam. Samar-samar ia melihat sekitarnya seraya menarik punggungnya kebelakang, "Oh ya, tadi malam aku tertidur disini." Tangannya sedikit menggebrak meja di depannya.
"Hmm, bau apa ini," ucap Daniza seraya mengendus-endus mencari benda yang mengeluarkan bau khas Kopi.
K-kkopi? tidak, maksudku siapa yang sedang membawa kopi ini. Ucap batin Daniza setelah ia menemukan sosok asing di belakangnya sambil memegang secangkir kopi.
"Hai," ucapnya ringan tanpa merasa berdosa.
Apa? dia bilang 'Hai' tidakkah dia berfikir aku akan berteriak setelah melihatnya.
"Tadinya saya hanya berniat membangunkanmu dan menaruh secangkir kopi ini," ucapnya datar.
"Tapi saya juga tidak meminumnya," balas Daniza datar. Oh tidak!! kenapa dirinya mulai bodoh, ia tidak bisa marah dan malah menjawabnya.
"Tidak apa-apa. Kalau kamu ingin bilang saja. yang ini mungkin tidak hangat lagi nanti."
"Saya akan keluar. Kita akan berbincang sebentar di luar. Saya tau kamu pasti sedang bingung," lanjutnya yang semakin membuat Daniza bingung.
Sosok itu berbalik sebelum kemudian menoleh dan tersenyum miring, "Jika kamu takut kopi ini akan pahit, mungkin itu benar. Tetapi, mungkin saja itu salah. Kamu hanya akan tahu jika kamu mencobanya."
Setelah itu laki-laki asing tadi keluar dengan menutup kembali pintu kamar. Tidak terbesit sedikitpun dalam pikiran Daniza bahwa laki-laki itu akan melakukan hal yang tidak baik padanya. Mudah untuk berteriak disini jika dia macam-macam, ia juga punya keahlian bela diri yang tidak buruk. Setidaknya tendangannya bisa membuat memar musuh dihadapannya.
Daniza yang masih mematung dan berperang batin mulai sedikit sadar dan beranjak untuk bersiap-siap keluar memberi makan rasa penasarannya yang sedari tadi berteriak di benaknya.
Sudah lewat 30 menit ia membiarkan sosok tadi di luar. Entah apa yang di lakukannya, tidak ada suara yang terdengar darisana masuk ke gendang telinganya. Sepertinya ... Daniza juga tidak khawatir laki-laki tadi akan mencuri. Lagipula, akan sangat bodoh jika mencuri dari rakyat tak kaya seperti dirinya.
Tidak lama Daniza sedikit berias diri, ia melihat dirinya di cermin yang terdapat pada sisi atas wadah bedak miliknya. Dirinya tidak lagi terkejut jika harus melihat pantulan perempuan menyedihkan disana. Sebenarnya ia sudah muak dengan ekspetasi orang-orang tentangnya, tidak apa jika semesta membentukku dengan takdirnya tetapi manusia suka menghakimi hanya karna 'katanya...katanya...dan katanya'
Sudahlah, aku akan membersihkan kamarku dulu.
Jika di hitung-hitung satu jam sudah Daniza membiarkan orang itu menunggu. "Mungkin sudah pergi," gumamnya seraya membuka pintu kayu yang masih kokoh itu.
Daniza melesat ke luar dan benar saja laki-laki itu tidak ada di ruang tengah yang memang hanya sepetak kecil. Ia mengangguk pelan, memahami pikirannya. Namun dugaannya tiba-tiba sirna tatkala ia menemukan sosok itu sedang membawa keranjang bambu berukuran besar di luar rumahnya.
"Untuk apa keranjang bambu itu?" tanya Daniza
"Membersihkan sampah di pantai sana"
"Haah??" Mulut daniza tidak bisa tertutup rapat.
"Tidakkah kamu merasa bertanggung jawab sebagai seseorang yang tinggal disini?"
"Tidak."
"Kalau begitu displinkan pengunjung."
"Mereka yang tidak mau diberitahu."
"Kalau begitu tempat ini akan kotor, sekarang saja sudah mulai kotor."
"Yasudah, sini." Daniza meraih keranjang bambunya namun ditarik kembali.
"Kenapa ditarik kembali?"
"Biar saya yang bawa, kamu bantu ambilkan saja."
Daniza mengangguk dan mulai menyusuri pasir putih yang tertimbun banyak sampah. waktu berlalu begitu cepat namun, "HUFFF, SEPERTI TIDAK BERKURANG."
"Sabar," sahut laki-laki itu.
Terus-menerus tangannya diayunkan mengambil sampah di pinggir pantai. Sambil kakinya di arahkah ke air agar tersapu ombak kecil. Daniza sedikit terkekeh kemudian menoleh tepat searah dimana laki-laki itu juga memperhatikannya. "Kamu suka pantai?"
Laki-laki itu menggeleng pelan. "Tidak terlalu."
"Kamu suka?"
Daniza menganggunk. "Tentu saja."
"Mengapa tidak terlalu suka pantai padahal kamu terlihat sangat peduli seperti sekarang?"
"Karna se-"
"Duh....Hujaannn." Daniza spontan berlari mencari tempat berteduh didekatnya.
"- seorang suka tempat ini," ucap laki-laki yang masih berdiri ditempatnya tersebut melanjutkan perkataan tadi.
Daniza berhenti di sebuah saung bambu yang usang. di usapnya baju yang ia kenakan untuk sedikit mengurangi hawa dingin di tubuhnya. ia menengok ke kanan maupun ke kiri mencari laki-laki tadi yang belum lama tadi masih berada di dekatnya namun sekarang menghilang.
Ketika hujan mereda Daniza melesat keluar dari saung dan mencari laki-laki itu. Namun, NIHIL.
Sampai matahari kembali terbenam sosok misterius itu tidak terlihat ujung rambutnya sedikitpun. Daniza merasa bersalah di lubuk hatinya meskipun sebenarnya ia tahu tidak seharusnya ia berfikiran terlalu jauh. Toh, sudah dewasa juga. Tau jalan pulang.
Degh!!
Daniza sedikit menyadari suatu hal sehingga ia kembali berjalan ke rumahnya. Ia membuka pintu dan memasuki ruang sepetak dengan tikar dan selimut disana. Namun, aroma ini adalah yang paling ia tidak sukai yaitu aroma kopi.
Daniza duduk dan memegang cangkir gelas yang berada di hadapannya. "Hangat," ucap Daniza lembut. Dilihatnya rupa kopi tersebut, ia terperanjat karna warnanya tidak hitam pekat seperti yang sering ia temui. "Sudahlah lebih baik dicoba saja."
'Tidak terlalu pahit' dan hal tersebut menyenangkan hatinya, hangat yang menjalari indra perasanya membuat nuansa sekitar lebih tenang.
Setelah itu sebuah pesawat kertas jatuh di hadapannya, Daniza celingukan dan berakhir membuka lipatan kertas tersebut saat tidak menemukan siapa pemiliknya.
'Seperti asamu kemarin,
sementara aku singgah bahagialah,
saat hujan berhenti mulailah perhatikan diri sendiri,
ingatlah bahwa yang indah bukan hanya riuh ombak dibawah jingga tetapi gemuruh jiwa dalam ragamu juga'
Suara mesin pendeteksi jantung terdengar sangat dekat dengan Daniza. Kelopak matanya yang sayu terbuka perlahan. Bau antiseptik menyengat masuk ke indra penciumannya. lensanya hanya menangkap warna putih di sekitarnya. Tubuhnya seperti tidak bebas tetapi sepasang tangan meraih jemarinya membuat hatinya lega.
"Niza?!"
"Hujannya sudah berhenti, Lingga..." Daniza menarik garis bibirnya dengan mata yang berkaca-kaca.
Suara tangis pecah mengisi ruangan dingin itu. Suara dayu, perempuan paruh baya itu kini memanggil nama keluarga satu-satunya yang ia miliki tersebut dengan isakan yang tak jua usai dan lingga hanya diam membawa genggaman tangan mereka dalam dekapan serta mengusap anak rambut daniza.
Komentar
Posting Komentar